Minggu, 06 Februari 2022

Kunjungan Kerja Anggota DPR RI Komisi VIII H. Rachmat Hidayat, SH. Fraksi PDI Perjuangan Dalam Rangka Penuntasan Transaksi Pemanfaatan Bantuan Sosial di Kota Mataram.

Kunjungan Kerja Anggota DPR RI Komisi VIII H. Rachmat Hidayat, SH. Fraksi PDI Perjuangan Dalam Rangka Penuntasan Transaksi Pemanfaatan Bantuan Sosial di Kota Mataram yang juga di hadiri Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Sumber Daya pada Direktorat Jaminan Sosial Keluarga (JSK) Kementrian Sosial RI Ari Widyanto, Kepala Dinas Sosial Kota Mataram Hj. Baiq Asnayati, Para Anggota DPRD Kota Mataram dari Fraksi PDI Perjuangan, Camat Cakranegara Irfan Syafindra, Kabid Penanganan Kemiskinan Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kota Mataram Umeiry Syafrianti Rayes, Koordinator Regional PKH Wilayah III Bali Nusra, Koordinator PKH Wilayah NTB I dan II, Koordinator PKH Kota Mataram, dan Seluruh SDM PKH Kota Mataram di Kecamatan Cakranegara Kota Mataram, Minggu (6/2).


Sumber: Aril Hidayatullah (Jurnalis SDM PKH Mataram)

Minggu, 30 Januari 2022

Percepatan Pendistribusian Butab dan KKS BPNT PPKM di Mataram 12-15 Januari 2022

Mengawali tahun 2022 Pelaksana Progam Keluarga Harapan Kota Mataram (PPKH Mataram) melakukan Percepatan Pendistribusian Buku Tabungan dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM)  yang langsung di Monitoring oleh Dirjen Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementrian Sosial Republik Indonesia di Mataram 12-15 Januari 2022 dan dilanjutkan lagi Pendistribusian setelah tanggal 15 Januari. Alhamdulillah sampe di akhir bulan Januari telah terdistribusikan di seluruh wilayah Kota Mataram.
Mataram 31 Januari 2022
Sumber: Aril Hidayatullah

Senin, 08 Agustus 2016

Ketentuan Usia Untuk Dapat Melangsungkan Perkawinan



Ketentuan Usia Untuk Dapat Melangsungkan Perkawinan
Oleh : Aril Hidayatullah
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Karena pernikahan itu ibadah maka berkaitan erat dengan segala syarat dan rukun yang merupakan salah satu kewajiban yang harus terpenuhi sebelum pelaksanaan akad nikah dan akan berjalan tertib dalam pelaksanaannya.

Pernikahan merupakan akad yang suci yang menghalalkan pergaulan suami isteri dengan nama Allah. Saking pentingnya pernikahan Rasulullah SAW mengingatkan umatnya dalam khutbah haji wada di Namira sebagaimana sabdanya “Wahai manusia, berlaku baiklah terhadap isteri kalian mereka itu merupakan teman-teman yang akan membantu kalian, mereka tidak memiliki sesuatu untuk diri mereka, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian dengan nama Allah”. Dalam sebuah hadis lain Rasululah SAW bersabda  “Nikah itu sunnah kami, siapa yang membenci sunnahku maka bukan dari golonganku”. Oleh karena itu akad nikah merupakan suatu akad yang suci yang akan menghalakan kehormatan dengan nama Allah, dengan tujuan ibadah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rohmah.

Salah satu persyaratan yang sering menjadi perbincangan masyarakat akhir-akhir ini adalah batas usia pernikahan. Hal ini sering muncul seiring dengan bermunculannya kasus-kasus yang menjadi sorotan media di berbagai daerah, seperti pernikahan yang dilakukan oleh Syeh Puji terhadap anak dibawah umur beberapa waktu yang lalu. Permasalahannya adalah berapa batas usia pernikahan dalam undang-undang di Indonesia? Untuk menjawabnya tentu kita perlu merujuk pada ketentuan perundangan yang berkaitan dengan masalah tersebut.

Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974  tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur  16 (enambelas) tahun. Selanjutnya dalam  Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8 “Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 16 (enambelas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 (sembilan belas)  tahun dan untuk wanita 16 (enambelas) tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya  masih ada syarat yang harus ditempuh oleh calon pengantin (catin), yakni jika calon suami dan calon isteri belum genap berusia 21 (duapuluh satu) tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal  itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV pasal 7 “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”. Ijin ini sipatnya wajib, karena usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua/wali. Dalam format model N5 orang tua /wali harus membubuhkan tanda tangan dan nama jelas, sehingga ijin dijadikan dasar oleh PPN/ penghulu bahwa kedua mempelai sudah mendapatkan ijin/restu orang tua mereka. Lain halnya jika kedua calon pengantin sudah lebih dari 21 (dua puluhsatu) tahun, maka para catin dapat melaksanakan pernikahan tanpa ada ijin dari orang tua/wali. Namun untuk calon pengantin wanita ini akan jadi masalah karena orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus orang yang akan menikahkannya. Oleh karena itu ijin dan doa restu orang tua tentu suatu hal yang sangat penting karena akan berkaitan dengan salah satu rukun nikah yakni adanya wali nikah.

Dalam khazanah ilmu fiqh ada sebagian para ulama tidak memberikan batasan usia pernikahan, artinya berapapun usia catin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia belum baligh sekalipun, hal inilah yang menjadi dasar jaman dahulu ada yang disebut istilah kawin gantung. Namun mayoritas ulama di dunia Islam sepakat mencantumkan pembatasan usia nikah sebagai dasar yang dipakai di negara masing-masing. Di bawah ini adalah batas usia pernikahan di sebagian negara-negara muslim yang merupakan hasil studi komperatif Tahir Mahmood dalam buku Personal law in Islamic Cauntries ( History, Text and Comparetive Analysis ) :
Negara
Pria
/tahun
Wanita
/tahun
Aljazair
21
18
Bangladesh
21
18
Indonesia
21
21
Tunisia
19
17
Mesir
18
16
Irak
18
18
Libanon
18
17
Libya
18
16
Malaysia
18
16
Maroko
18
16
Pakistan
18
16
Somalia
18
18
Yaman Selatan
18
16
Suriah
18
17
Turki
17
15
Jordania
16
15
Yaman Utara
15
15

Data diatas menunjukan bahwa dalam menentukan batas usia pernikahan, para ulama di negara muslim  sepakat memberikan batasan  pernikahan setelah usia baligh, walaupun dalam rentang yang tidak sama dan berpariasi, karena di dalam ilmu fiqh baligh jika dikaitkan dengan ukuran usia berkisar laki-laki antara 15 ( lima belas ) tahun dan wanita antara 9 (sembilan) tahun.

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana jika laki-laki masih dibawah 19 tahun dan wanita masih dibawah 16 tahun akan melaksanakan pernikahan?. Hal ini bisa didorong karena berbagai hal antara lain: khawatir jina’, sudah terlalu akrab, sudah tak bisa dipisahkan, sudah   cukup, cakap dan mampu dari segi materi serta fisik atau bahkan sudah kecelakaan.

Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari  pasal 7 ayat (2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita. Bagi umat Islam tentu orang tua/wali  para catin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten didaerah catin tinggal. Setelah ijin keluar baru akad nikah bisa dilaksanakan. Ijin tersebut akan dijadikan dasar oleh PPN/Penghulu serta akan mencantumkannya dalam lembaran NB daftar pemeriksaan nikah poin II Calon Suami No 16 baris 33,34 dan poin III Calon Isteri No.16 baris 71,72. Dengan demikian pernikahan yang masih dibawah umur atas ijin pengadilan  menjadi sah dan berkekuatan hukum.

Selanjutnya dalam Undang-undang Republik Indonesia UU No 35 Tahun 2014 perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) anak adalah seseorang yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimninasi.

Permasalahannya adalah, didalam Pasal 1 UU No 35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak , dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Tetapi didalam Undang-undang No 1 tahun 1974  tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1 berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur  16 (enambelas) tahun.
Jadi batasan usia menikah untuk wanita adalah 16 (enambelas) tahun yang bertentangan dengan Pasal 1 UU No 35 Tahun 2014, dimana didalam Pasal 1 UU No 35 Tahun 2014 disebutkan bahwa : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sudah dilakukan revisi terhadap UU No 1 Tahun 1974 tentang gugatan menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia yang dilakukan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan dalam perkara 30/PUU-XII/2014 dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dalam perkara 74/PUU-XII/2014, tetapi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Kamis (18/06).
Putusan tersebut dibacakan Ketua MK Arief Hidayat setelah meninjau gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan dalam perkara 30/PUU-XII/2014 dan Yayasan Pemantauan Hak Anak dalam perkara 74/PUU-XII/2014, kedua lembaga itu menghendaki batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan ditingkatkan dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Karena saat ini, berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah bagi perempuan ialah 16 tahun dan pria 19 tahun.
Sensus nasional pada 2012 hasil kerja sama dengan Badan PBB urusan anak-anak (UNICEF) menunjukkan satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di sejumlah daerah anak perempuan berusia 15 tahun sudah menikah.
Dari pernikahan dini tersebut, berdasarkan pengamatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data di Kantor Urusan Agama, jumlah perceraian mencapai 50%.
Namun, Majelis Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak ada jaminan bahwa jika batas usia minimal menikah dinaikkan angka perceraian akan berkurang.
Lebih jauh, menurut MK, tidak ada aturan dalam agama Islam yang menjelaskan batas usia.
Mengapa MK menolak ?
Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangan putusannya yang dibacakan pada Kamis, menolak uji materi atas Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu pasal 7 ayat 1.
Image caption Majelis Hakim Konstitusi mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia akan mengurangi masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial.
Majelis hakim Konstitusi mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah dari 16 tahun ke 18 tahun untuk perempuan akan dapat mengurangi masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial.
"Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.Anggota majelis hakim Konstitusi, Patrialis Akbar.
"Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan semakin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya,” kata anggota majelis hakim Konstitusi, Patrialis Akbar.
MK juga menolak penambahan usia nikah kaum perempuan, karena di masa depan kemungkinan batas minimal menikah perempuan di usia 18 tahun bukanlah yang ideal.
Mereka juga berpendapat di sejumlah negara batas usia bagi perempuan untuk menikah itu beraneka, mulai 17 tahun, 19 tahun dan 20 tahun.
Tetapi ada pendapat berbeda hakim konstitusi
Dalam pembacaan putusan itu, ada seorang hakim konstitusi, yaitu Maria Farida Indrati, yang memiliki pendapat berbeda.
"Usia 16 tahun dalam UU Perkawinan dalam pasal 7 ayat 1 telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak-hak anak yang diatur dalam pasal 1 ayat 3, pasal 24 b ayat 2, pasal 8 c ayat 1 UUD 1945," kata Maria dalam putusannya.
Menurut Koalisi Perempuan Indonesia, data BPS pada 2013 menyebutkan anak perempuan berusia 13 dan 15 tahun yang menikah sekitar 20% dari jumlah pernikahan keseluruhan.
Sementara yang menikah di usia antara 15 dan 17 tahun diperkirakan mencapai 30%.
Image caption Bagaimanapun seorang Hakim Konstitusi, Maria Farida, mendukung gugatan.
Di kalangan pegiat keselamatan perempuan dan anak-anak, angka ini berarti membiarkan anak perempuan mengalami kematian dan kecacatan sebagai resiko perkawinan dan melahirkan pada usia kanak-kanak.
Sementara, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan, angka kematian ibu di Indonesia meningkat dari lima tahun sebelumnya.
Dari angka 228 orang per 100.000 persalinan menjadi 359 orang per 100.000, demikian data yang dikutip PKBI dalam keterangan siaran persnya.
Menurut PKBI, terjadi peningkatan hampir 200% dari 9000 orang kematian ibu menjadi hampir 18.000 orang.
Putusan MK tersebut disambut kekecewaan berbagai lembaga.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), misalnya, menyitir fakta mengenai imbas putusan MK dari aspek sosial dan medis, khususnya mengenai masalah kesehatan reproduksi pada ibu berusia remaja.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia meningkat dari lima tahun sebelumnya, dari 228 orang per 100.000 persalinan menjadi 359 orang per 100.000.
Terjadi peningkatan hampir 200% dari 9.000 orang kematian ibu menjadi hampir 18.000 orang.
“Dengan tidak dikabulkannya gugatan menaikkan batas usia perkawinan dari 16 menjadi 18 tahun berarti angka kematian ibu berpotensi meningkat, angka anak yang putus sekolah juga semakin tinggi,” tutur Ketua Pengurus Nasional PKBI dr. Sarsanto W. Sarwono, SpOG.

Sebenarnya tidak ada batasan usia seseorang/anak dapat dikatakan menikah pada usia dini, jika kita merujuk pada hukum islam, maka seseorang/anak dapat menikah  jika sudah aqil baligh.
Tetapi yang harus kita pikirkan adalah masalah kesehatan, masalah reproduksi, yang menyebabkan tingginya angka kematian, angka perceraian, dll.
Lalu sebenarnya apa faktor penyebabnya ?
Penyebab utamanya adalah anak-anak yang kegatelan, anak-anak yang tidak punya visi misi kedepannya, anak-anak yang tidak punya tujuan hidup.
Oleh karena itu, mari saudara-saudaraku, saya mengajak melalui tulisan ini, kita hidup harus punya tujuan, mari kita tulis nama kita dengan tinta emas.

DAFTAR PUSTAKA